Kehendak untuk Berkuasa Nietzsche.
Dunia adalah
kehendak untuk berkuasa dan tidak ada yang lainya!Kaulah sendiri yang menjadi
kehendak untuk berkuasa ini dan tidak ada lagi yang lainya!
Konsep kehendak untuk berkuasa (the will
to power) adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik
perhatian dari pemikiran Nietzsche.[1] Dengan
konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak
lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts)
yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas
menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti
kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak
kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru.
Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh
pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup (1), proses
transendensi insting-insting alamiah manusia (2), dan cara memandang realitas
yang menyeluruh (wholism) (3).[2] Pemikiran tentang kehendak untuk berkuasa terselip serta
tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan
seolah tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen tersebut,
menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang kehendak untuk
berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas (1),
sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of reality) (2), dan sebagai realitas itu
sendiri apa adanya (reality as such) (3).
Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai
hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari
sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche kehendak untuk berkuasa
adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak
dapat dihancurkan.”[3]Bisa
dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Nietzsche berubah
menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur
terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur
terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa. Ini adalah
gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan kehidupan
alam semesta pada umumnya. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi
dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh
realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya, adalah ledakan sekaligus bentuk
lain dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus
ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus instingtual
manusia. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus
membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses
realitas itu sendiri.[4] Semua
ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek
agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa
pencipta dan tanpa arah.
Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak
memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri.
Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan
untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan
kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua
hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri.[5] Dengan
subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab
akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini,
manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di
dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong
manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus
menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya.
Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia.
Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan
subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya
“manusiawi” (human).
Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara
positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan
merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak
memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai
dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan
digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain
dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus
belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari
kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah
kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh
suka cita pada hidup itu sendiri.”[6] Hidup
memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk
menerima dan merayakannya sepenuh hati.
Sebagai bagian dari dunia yang dimotori kehendak untuk berkuasa,
manusia pun tidak lagi dipandang sebagai mahluk rasional, melainkan sebagai
mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being)
yang diterimanya dari dunia. Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta dunia
(world-creating activity). Jadi karena dikelilingi oleh
kehendak untuk berkuasa, manusia pun terdorong untuk mencipta dunia. Tindak
mencipta dianggap sebagai dorongan alamiah, dan bahkan kebutuhan eksistensial
manusia. Dalam arti ini manusia bukanlah subyek seutuhnya, karena ia adalah
bentuk konkret saja dari kehendak untuk berkuasa. Manusia adalah subyek yang
bukan subyek. Manusia dan dunia adalah cerminan dari kehendak untuk berkuasa.
Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari pola berpikir metafisisnya,
bahwa hakekat dari sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang ditimbulkannya.
Hakekat dari dunia dan manusia adalah efek-efek yang ditimbulkannya, yakni
penciptaan. Penciptaan hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa.
Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah
pandangan dunia yang sistematis (systematic worldview).
Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk menyibak berbagai situasi di dalam
dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar dari semuanya. Maka konsep ini
tidak bisa diperlakukan sebagai konsep metafisika tradisional, entah
sebagai arche di dalam filsafat Yunani Kuno, atau
substansi.[7] Menurut
Porter konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah
simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari realitas.
Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami
dunia seutuhnya. Dalam konteks ini Nietzsche kemudian menawarkan sebuah
pemahaman yang lebih “puitis” tentang hakekat dunia yang memang tak bisa
sepenuhnya tertangkap oleh akal budi manusia.[8] Konsep
kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari
imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia. Bisa dibilang bahwa
Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai
alat utama manusia untuk memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological explanation) yang lebih imajinatif,
deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia, sementara imajinasi dan
rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya.
Nietzsche sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa konsepnya
tentang kehendak untuk berkuasa adalah suatu mitos. Konsep ini lahir dan
berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah
representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and
representation).[9] Walaupun begitu kita tetap harus membedakan model berpikir
dari dua filsuf besar ini. Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak untuk
berkuasa, namun bersikap optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan
segala kerumitannya. Sementara Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak
buta, bersikap pesimis, serta memilih untuk melarikan diri darinya.[10] Dua
sikap ini pada hemat saya juga dapat digunakan untuk memahami mentalitas
manusia jaman ini di dalam memandang kehidupan.[11] Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang
memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri ke
berbagai “candu”. Namun ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani,
dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir
inilah yang disarankan oleh Nietzsche.
Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan
mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa adalah inti
sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan segala
sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk khas
Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi
lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap
modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada
akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata
hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Pada hemat saya dengan konsep
kehendak untuk berkuasa, Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern,
yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya,
karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan ketegangan di dalam diri
manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak
kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini
menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam
kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita
apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya
merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan.[12]Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi
destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.
Kekuatan
adalah kebajikan yang utama kelemahan adalah
keburukan yang memelukan,yang baik adalah yang dapat melengsukan
kehidupan yang Berjaya dan meneng,yang buruk adalah yang tidak bias bertahan terpuruk dan kalah.
Sumber;
https://rumahfilsafat.com/2011/12/16/manusia-dan-kehendak-untuk-berkuasa/
https://chanwooblog.wordpress.com/2016/05/08/friedrich-nietzsche-kehendak-berkuasa/
Sumber;
https://rumahfilsafat.com/2011/12/16/manusia-dan-kehendak-untuk-berkuasa/
https://chanwooblog.wordpress.com/2016/05/08/friedrich-nietzsche-kehendak-berkuasa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar