Sabtu, 24 Juni 2017

HAKEKAT MANUSIA MENURUT AVERROES
Mengenai tugas filsafat ini saya terinspirasi melalui tugas filsafat dan saya padukan apa yang saya dapat dari psikologi umum 1
HAKEKAT MANUSIA
Psikoanalisis (Freud) berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh naluri biologis, mengejar kesenangan dan menghindari hal-hal yang tidak mengenakan. Pandangan yang seperti ini melihat manusia tidak begitu beda dengan binatang, kasar, agresif, tamak, dan mementingkan diri sendiri. Kaum Humanis (Maslow) memandang manusia memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari binatang. Ia tidak saja digerakkan oleh dorongan biologis tetapi juga oleh kebutuhan untuk mengembangakan dirinya sampai bentuk yang ideal (Self Actualization) manusia yang unik, rasional, bertanggungjawab dan memiliki kesadaran.Kedua pendapat tersebut rancu dan perlu ada pencerahan melalui wahyu dari Allah SWT dan untuk itu saya hadirkan filsuf yang ingin menjadikan antara filsafat dan agama harus saling beriringan,meskipun  Islam pada hakikatnya sudah sempurnIslam berpandangan bahwa hakikat manusia adalah merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Keduanya merupakan substansi yang berdiri sendiri dan makhluk yang diciptakan Allah SWT.Manusia diciptakan Allah SWT dalam struktur yang paling baik diantara makhluk yang baik. Ia juga dilahirkan dalam keadaan fitrah, bersih dan tidak ternoda. Pengaruh-pengaruh yang datang kemudianlah yang akan menentukan seseorang dalam mengemban amanat sebagai khalifah-Nya. Sebagaimana Nabi Muhammad bersabda : “Dari Abu Hurairah katanya : Bersabda Rasulullah Saw. tiap-tiap anak dilahirkan dengan keadaan putih bersih maka dua ibu bapaknya yang meng-Yahudikan atau me-Nasranikan atau me-Majusikan”. (H.R. Muslim).Allah SWT memberikan anugrah berupa fitrah atau potensi kepada manusia, yang harus dikembangkan dan diaktualisasikan agar dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidupnya. Sebagai khalifah, ia haruslah memiliki kekuatan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya. Sebagai ‘abd ia harus melaksanakan seluruh usaha dan aktifitasnya dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Dengan pandangan yang terpadu ini maka sebagai khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan.Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan ibadah dengan baik, manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, tekhnologi dan sarana pendukung lainnya.
Biografi  Averroes (Ibnu Rusyd)
Abdul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd lahir di Cordova pada tahun 1126 (520 H) dari keluarga pengacara.[2] Di Barat (Eropa) ia lebih dikenal dengan nama Averroes. Ayahnya adalah seorang hakim terkemuka.Ibn Rusyd hidup pada masa yang disebut-sebut sebagai zaman keemasan islam. Pada masa ini agama islam sungguh penuh dengan pendasaran rasional akibat pengaruh dari filsafat. Penghayatan agama yang didasarkan oleh rasionalitas yang kritis, membuat agama islam mengalami perkembangan pesat. Salah satu buktinya adalah banyak lahir pemikir di dalamnya, yang juga turut mengembangkan aspek hidup lainnya.Walaupun demikian, pada masa Ibn Rusyd hidup itu pula lah mulai banyak pihak, terutama para ulama konservatif yang mengecam adanya filsafat dalam agama islam. Ia pun banyak mendapatkan tekanan, karena filsafatnya dianggap sangat bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan ia pernah dibuang oleh Khalifah Abu Yusuf, diasingkan ke Lucena.[3]Karya Ibn Rusyd lebih cenderung dan tampak dalam menterjemahkan teks-teks filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, terutama karya-karya Aristoteles.[4] Bahkan Eropa mampu mengenal Aristoteles secara lebih luas adalah karena karya-karyanya. Ia membuat berbagai tulisan komentar tentang ilmu kesehatan dan astronomi yang ditulis oleh Aristoteles. Kemudian ia menulis juga tulisan komentar terhadap buku Republic dari Plato.
     Jiwa Menurut  Ibnu Rusd
Dualisme mengenal dua jenis being yang ada dalam diri manusia. Pertama adalah apa yang digerakkan (bendanya) dan apa yang menjadi penyebab penggerak benda tersebut.[6] Dengan kata lain juga bisa kita definiskan sebagai sesuatu yang jasmani dan spiritual. Bagi Ibn Rusyd, unsur spiritual dalam diri manusia mempunyai kesatuan dan kesempurnaan yang lebih tinggi dari semua yang ada. Namun tetap yang materi pun mempunyai peran yang besar dalam proses rasio. Artinya dalam diri manusia bukan lagi terdapat dua substansi melainkan satu “materi” dan “bentuk” sebagai kesatuan dan mempunyai korelasi.Ibn Rusyd dengan tegas mengatakan bahwa jiwa manusia berhubungan dengan tubuh, seperti Form dan Matter. Ia menolak argumen Ibn Sina yang mengatakan bahwa jiwa yang abadi sifatnya banyak. Lebih dalam menurut De Boer “The soul has an existence only as a completion of the body with which it is associated”.[7] Maksudnya kurang lebih bahwa jiwa mempunyai eksistensi hanya sebagai sebuah pelengkap dari tubuh, yang denganynya dipersatukan juga oleh jiwa.Ibn Rusyd dalam tulisannya yang berjudl Fil Nafsi menegaskan bahwa antara nyawa (al-Ruh) dengan jiwa (al Nafis) merupakan dua realitas yang berbeda. Namun yang menarik adalah Ibn Rusyd bahwa ketika berbicara tentang ruh, Ibn Rusyd menggunakan ayat dalam Al Quran di dalam surat al-Isra ayat 85. Isinya kurang lebih mengatakan bahwa ruh itu urusan Tuhanku. Manusia tidak diberika ilmu sedikitpun tentang itu. Kutipan penjelasn di bawah ini bisa langsung menghantar kita untuk semakin jelas mengenali apa itu jiwa:“Jiwa berbeda dengan nyawa, dan juga dengan akal. Jiwa itu suatu zat, dan bukan suatu tubuh. Jiwa adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia. Syailul lazi yashbahu bihil insanu insianan, artinya jiwa itu sesuatu yang hidup dan berilmu dan berkodrat.”Kutipan paragraf di atas seolah ingin menekankan bahwa kegiatan jiwa lebih pada seputar kegiatan berpikir. Hal tersebut yang kemudian membuat Ibn Rusyd mendeskripsikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanis.[9] Disebut alamiah dan mekanistik dengan tujuan ingin membedakan dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang berasal dari perilaku dan emosi. Makna kesempurnaan ini pun ingin juga mengarahkan pada keberagaman dari bagian jiwa, seperti jiwa nutrisi, jiwa sensorik, jiwa khayalan, jiwa hasrat dan jiwa rasional. Definisi tersebut sebenarnya sudah dipakai oleh Aristoteles dalam mendeskripsikan jiwa.Jiwa itu hakikatnya adalah satu. Ibn Rusyd sering menyebut kesatuan jiwa itu sebagai jiwa umum.
 Akal Sebagai Wujud Jiwa
Menurut Ibn Rusyd wujud jiwa paling nyata tampak dalam akal yang dipunyai manusia. Akal manusia itu adalah satu dan universal. Lebih dalam “akal yang aktif” yang dimaksud bukan saja akal yang esa dan universal, melainkan juga menyangkut “akal kemungkinan” (reseptif). Akhirnya Poerwantana dalam bukunya menyimpulkan bahwa akal yang dimaksud Ibn Rusyd ini dianggap sebagai monopsikisme.[10]Akal kemungkinan lah yang membuat manusia sungguh menjadi individu ketika ia berhubungan dengan tubuh masing-masing manusia. Melihat sifat akal yang ada dalam individu tersebut sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika manusia meninggal, maka akal kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki seseorang sifatnya tidak abadi, yang abadi adalah akal yang esa dan universal, sesuatu yang menjadi sumber dan tempat kembalinya akal masing-masing manusia.“…pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). Maksud Ibn Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal).”[11]Penjelasan mengenai akal universal dan akal reseptif tidak bisa lantas membuat kita langsung menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd menolak kehidupan setelah kematian. Dalam filsafatnya, Ibn Rusyd juga berbicara mengenai kebangkitan jasmani. Ibn Rusyd menyangkal apa yang dikatakan oleh Al Ghazali bahwa filsuf-filsuf mengingkari kebangkitan jasma
Tubuh Menurut Ibnu Rusd
Melihat latarbelakang filsafat Ibn Rusyd yang banyak mendasarkan diri pada pemikiran Aristoteles, hal itu juga terungkap dalam ajaran Ibn Rusyd dalam memandang tubuh. Berbeda dengan Plato yang menganggap bahwa tubuh hanya menjadi penjara bagi jiwa. Antara tubuh dan jiwa mempunyai sebuah korelasi. Korelasi tersebut secara jelas bisa terlihat dalam proses pengenalan rational.Secara khusus, saya sulit untuk menemukan definisi Ibn Rusyd tentang apa itu tubuh? Ibn Rusyd lebih banyak menjabarkan tentang aktivitas jiwa yang berkorelasi dengan tubuh. Salah satu konsep yang akan kita jabarkan adalah panca indera. Karena di dalamnya kita bisa langsung menangkap bagaimana tubuh pun mempunyai peran dan berkorelasi dengan jiwa.
 Panca Indera
Ibn Rusyd menjabarkan bahwa panca indera itu adalah indera pengelitahan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan terakhir peraba. Pengelihatan berfungsi menerima makna secara bebas dari akal potensial, yang bagaimanapun merupakan makna-makna yang bersifat individual. Daya pengelihatan mempersepsi dengan menggunakan perantara transparansi.Pendengaran. Intinya bahwa dengan menggunakan penedengaran manusia mampu menangkap suara-suara yang muncul akibat benturan dari benda-benda keras. Udara yang bergerak akibat benturan dari benda keras sampai ketelinga. Udara tersebut kemudian menggerakkan udara yang ada dalam telinga sebagai bagian dari tubuh yang berfungsi sebagai alat pendengaran.Ketiga indera Penciuman. Bagian dari fungsi tubuh yang berfungsi sebagai alat untuk menangkap bau. Indera ini membutuhkan air dan udara sebagai perantaranya. Seperti halnya Aristoteles, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa penciuman manusia lebih lemah daripada hewan.Keempat, indera pengecapan (perasa). Sebuah daya untuk menangkap rasa sesuatu. Kerjanya dengan meletakkan objek di atasnya.Kelima, indera peraba. Sebuah daya jiwa yang menggunakan tubuh untuk mengenali objek. Daya yang mengalami kesempurnaan karena berbagai hal yang dirab
Relevansi
Manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa menurut Ibn Rusyd bisa membantu kita dalam melihat realitas yang terjadi saat ini. Salah satu fenomena yang relevan adalah fenomena terorisme yang merenggut banyak nyawa manusia. Sebenarnya Ibn Rusyd sudah memberikan dasar yang baik (filosofis) dalam melihat manusia. Lantas mengapa terorisme dengan mudah meledakkan bom yang merenggut banyak nyawa. Sebuah kontradiksi memang.Satu hal yang saya bisa temukan, hal tersebut terjadi karena para pelaku terorisme menginggalkan pendasaran rasional dalam melihat manusia, seperti yang dijabarkan Ibn Rusyd. Meninggalkan dan meniadakan filsafat dalam korelasi dengan agama. Akhirnya, Fundametalisme dalam agama lah yang membuat para pelaku terorisme melakukakannya. Terlalu harafiah dalam menghayati ajaran agamanya.Pandangan sempit bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan dan harus mematuhi segala perintahNya yang ada dalam agamanya. Jika ada yang melanggarnya berarti menjadi sah untuk dihabisi nyawanya. Akhirnya meninggalkan apa yang dikatakan oleh Ibn Rusyd, bahwa harusnya sebagai manusia yang mempunyai jiwa mereka mampu berpikir dan kritis tentang kebenaran. Lantas kalau tidak berpikir apakah para pelaku masih bisa disebut manusia? Sungguh disayangkan, namun kiranya itulah yang terjadi dalam negara kita.
Kesimpulan
Akhirnya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal dari analisis teks tentang tubuh dan jiwa menurut Ibn Rusyd. Pertama, bahwa filsafat Islam mempunyai ciri yang erat dengan filsafat abad pertengahan. Menggunakan filsafat untuk memberikan pendasaran bagi agama. Namun sayang banyak mendapat tolakkan keras dari kaum ulama, seperti yang dialami oleh Ibn Rusyd.Kedua, bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur yang tetap menjadi satu substansi, yaitu tubuh dan jiwa (forma dan materi). Artinya terjadi sebuah korelasi dari keduanya yang membentuk menjadi seoarng manusia.Jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanis mempunyai sifat yang satu. Jiwa adalah sesuatu yang berilmu. Dalam kegiatan berilmu itu jiwa membutuhkan tubuh untuk wadah eksistensinya. Tubuh menangkap materi yang ada objek yang ada di luar, kemudian jiwa merenungkannya. Secara khusus melihat indera-indera dalam tubuh.hal ini jelas bahwa ilmu psikologis membahas keduanya tetepi tidak menjelaskan eksistensi manusia dengan jelas sebagai hamba tuhan yang ditugaskan sebagai pemimpin minimal memimpin dirinya sendiri untuk berbuat kebaikan  yang diniatkan untuk ibadah sebagai bekal hidup kekal di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Hasbullah. Disekitar Filsafat Scholastik Islam. Solo: Ab Sitti Sjamsijah. 1965.
Poerwantana, dkk. Seluk-beluk Filsafat Islam. Bandung: CV Rosda Bandung, 1988.
 [8] http://hankkuang.wordpress.com/2008/12/07/ibn-rusyd-1126-1198-m/, Diakses pada Tanggal 19 Juni 2017, Pukul 19.30 WIB
[9] http://najmu-addin.blogspot.com/2009/04/jiwa-menurut-ibnu-rusyd.html diakses pada Tanggal 19 juni 2017Pkl. 23.00
http://daciih13.weblog.esaunggul.ac.id/2015/06/28/hakekat-manusia-menurut-ibnu-khaldun-2.diakses pada Tangal 20 Juni 2017 ,Pukul 18.35
https://supermakalah.wordpress.com/pemikiran-filsafat-ibnu-rusd/ .Diakses pada tangal  22 juni 2017 ,pukul 01.05

Kamis, 15 Juni 2017

Esensi Manusia Menurut Jean Paul Sartre


Perdebatan tentang manusia menjadi tema yang tidak pernah berhenti diperbincangkan. Manusia kerap dihadapkan pada menggumpalnya hasrat mencari tahu siapakah sejatinya dirinya? Apa sekiranya tujuan keberadaannya di tengah dunia? Bagaimana seharusnya ia hidup sebagai manusia? Pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti ini telah banyak dikupas oleh para filosof dari berbagai era dan aliran pemikiran filsafat. Jean-Paul Sartre (1905-1980) menjadi salah satu filosof yang akrab menggumulinya terutama dalam kerangka pemikiran eksistensialismenya.
Existensialism is a Humanism merupakan salah satu karya representatif eksistensialisme Sartre. Karya ini awalnya merupakan ceramah yang presentasi dan publikasinya dimaksudkan sebagai tanggapan terhadap kritik-kritik yang dialamatkan kepada pemikirannya, sekaligus merupakan upaya mempertegas konsepsi eksistensialismenya sendiri. Sartre barangkali tidak pernah mengeksplisitkan maksud proyek eksistensialismenya sebagai sebuah kajian filosofis tentang manusia. Tetapi dalamExistensialism is a Humanism kelihatan sekali bahwa Sartre berupaya mencerahkan pembacanya melalui tesis-tesis dan argumentasi filosofis tentang siapakah manusia pun bagaimana seharusnya menjadi manusia. Berangkat dari asumsi itu, berikut ini penulis berupaya menggali dan memperkenalkan konsep Sartre tentang manusia dengan memanfaatkan pembacaan terhadap karyanya, Existensialism is a Humanism.
Siapakah Manusia Menurut Sartre?
Gagasan Sartre tentang manusia diselipkan dalam kajiannya tentang beberapa konsep dasar eksistensialismenya seperti ‘Eksistensi Mendahului Esensi’ dan ‘Humanisme.’ Maka dalam terang kedua konsep ini, penelusuran ‘siapakah manusia’ itu akan dilakukan.
1) Eksistensi Mendahului Esensi
Eksistensi mendahului esensi (Existence comes before Essence) merupakan salah satu konsep penting dalam bangunan eksistensialime Sartre. Apa yang sekiranya dimaksudkan Sartre dengan konsep ini? Sartre sejatinya berupaya mengukuhkan subjektivitas manusia dan di sisi lain menendang jauh-jauh keberadaan Tuhan dengan segala argumentasi yang menyokongnya. Subjektivitas manusia dan keberadaan Tuhan seperti berada pada polaritas yang berbeda dan saling meniadakan. Untuk mengukuhkan subjektivitasnya, manusia mesti menyingkirkan Tuhankarena subjektivitas tak pernah bertoleransi dengan segala bentuk determinisme.
Untuk menjelaskan konsep eksistensi mendahului esensi, Sartre memulainya dengan memakai contoh pembuatan pisau kertas (paper-knife) oleh seorang artisan. Apa yang terlebih dahulu exist tentu bukan produk material pisau, tetapi segala konsep tentang pisau entah bentuk, cara pembuatan, maksud dan cara penggunannya. Konsep ini bercokol dalam benak artisan sebagai pre-existent technique. Tapi logika ini adalah logika esensi mendahului eksistensi, jalan berpikir yang tidak bisa dikenakan pada Tuhan yang de facto tidak bereksistensi. Ketika menyebut Tuhan sebagai Pencipta, sebetulnya kita sedang mengenakan pada Tuhanmodel kerja seorang artisan. Ketika menciptakan manusia, kita menganggap bahwa dalam benak Tuhan telah bercokol berbagai konsep tentang esensi manusia entah kodrat manusia sebagai makhluk rasional, citra Tuhan, ens sociale, dan sebagainya.Konsep seperti inilah yang ditentang Sartre melalui eksistensialisme ateistiknya: “Oleh karena Tuhan tidak exist maka setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya, makhluk yang ada sebelumnya dapat dibatasi oleh konsep-konsep tentang eksistensinya. Makhluk itu adalah manusia.” Dengan tesis inilah, Sartre menegaskan hakikat manusia sebagai being yang eksistensinya ada sebelum esensinya. Di sisi lain, keberadaan Tuhan dibatasi oleh berbagai definisi manusia tentang eksistensinya sendiri. Artinya, Tuhan ada sejauh manusia mendefinisikannya atau tegasnya,Tuhan melulu merupakan ciptaan atau buah pengatribusian oleh manusia saja.

Sampai di sini, pertanyaan yang mendesak diajukan adalah profil manusia macam manakah yang dimaksudkan Sartre dengan ‘manusia yang bereksistensi sebelum esensi?’ Pertama, Manusia sebagai Adalah. Eksistensi mendahului esensi berarti bahwa “manusia pertama-tama itu ada, menjumpai dirinya, mentas ke dalam dunia dan kemudian mendefinisikan siapa dirinya.” Manusia bukan apa-apa sebelum ia menjadi apa yang dikehendakinya sendiri untuk menjadi. Dengan kata lain, pada awal keberadaannya manusia tidak mengenakan definisi apapun tentang dirinya. Dalam arti inilah, Sartre menolak segala konsepsi tentang kodrat manusia sebab tidak ada Tuhan yang memiliki konsepsi apapun tentang manusia. Sebagai makhluk yang bereksistensi sebelum esensi, manusia tidak terikat atau terbelenggu pada berbagai pasokan definisi tentangnya. Manusia berkebebasan menentukan sendiri siapakah dirinya. Manusia ibarat buku tulis kosong yang kemudian di sepanjang hidupnya menyusun isi bukunya dengan tulisan-tulisan tangannya sendiri. Manusialah yang membentuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya, Sartre menyebut manusia sebagai adalah (Man simply is). Manusia selalu terus-menerus bergerak maju memformulasi dirinya.

Pada titik ini kita menemukan nilai intrinsik tanggung jawab dalam kemanusiaan manusia. Sartre berujar “Manusia bukan apa-apa tetapi apa yang ia lakukan pada dirinya sendiri.” Artinya, manusia sepenuhnya adalah apa yang ia kehendaki sendiri. Dalam arti ini, Sartre hendak menegaskan bahwa sejak keberadaannya, setiap manusia memikul tanggung jawab untuk menentukan dirinya sendiri dalam ruang kehidupannya masing-masing. Dengan demikian, pengaruh pertama eksistensialisme menurut Sartre adalah menempatkan setiap manusia pada kepemilikan atas dirinya sendiri sebagaimana adanya dia, dan menaruh seluruh tanggung jawab atas keberadaannya di atas pundaknya sendiri. Maka karakter kedua manusia versi Sartre adalah manusia yang bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.

Sampai di sini bukankah kita mendapatkan kesan bahwa manusia Sartrian adalah subjek-subjek tertutup yang semata-mata bertanggung jawab atas dirinya sendiri, yang keberadaannya melulu bernilai untuk dirinya? Di manakah letak tanggung jawab terhadap sosialitasnya? Untuk mengatasi ekstremitas kesan ini, Sartre berupaya membuat dua arti berbeda terhadap konsep subjektivismenya. Subjektivisme di satu sisi berarti kebebasan individual subjek yakni kebebasan dalam memilih dan menentukan hidupnya sendiri. Di sisi lain, termuat arti bahwa manusia tidak dapat melampaui subjektivitas manusia. Ketika manusia memutuskan memilih sesuatu dalam konteks mewujudkan dirinya tentulah ia memilih apa yang bernilai baik untuk dirinya dan dengan sendirinya pilihan itu bernilai baik untuk sesamanya. Dalam arti inilah Sartre melihat letak tanggung jawab individualitas seseorang pada sesamanya. Oleh karena itu, manusia Sartrian bukan saja bertanggung jawab atas hidupnya sendiri tetapi juga bertanggung jawab atas kemanusiaan sesamanya.Meskipun menurut saya, konsep ini menyisakan celah untuk dipersoalkan. Bukankah keputusan bernilai sedemikian subyektifnya sehingga tidak bisa diberlakukan secara objektif?

2) Humanisme Radikal
Sartre juga mengemukakan konsepnya tentang humanisme. Humanisme Sartrian pertama-tama berkarakter radikal karena menyingkirkan sama sekali nilai-nilai yang diproduksi oleh kepercayaan kepada Tuhan pun segala norma yang terkait dengannya. Hanya dengan begitu, setiap manusia dapat menemukan ruang untuk berkreasi menghasilkan nilai-nilai yang digumulinya dalam hidup. Dengan kata lain, penyingkiran Tuhan adalah satu-satunya cara tepat yang memungkinkan manusia menghidupi hndividualitasnya. Itulah sebabnya dengan mengutip perkataan Dostoyevsky, Sartre berkata, “Jika Tuhan tidak ada, segala sesuatu akan menjadi mungkin.” Manusia akan lepas dari cengkeraman kebenaran-kebenaran yang diproduksi dari luar, bebas dari beragam determinasi religius-etis dan menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Dengan konsep ini, humanisme Sartrian sebetulnya melaunching hakikat manusia sebagai makhluk yang bebas. Manusia menggenggam dalam tangannya sendiri kebebasan untuk menentukan hidupnya. Dalam arti ini, kebebasan yang dimaksud Sartre tidak melulu berupa kondisi bebas dari tekanan dan determinasi, tetapi juga keleluasaan di dalam menjalankan tanggung jawab dan tindakan yang perlu bagi kemanusiaannya. Manusia selalu berupa aksi dan kreasi merealisasikan diri. “Ia tidak dapat lain selain serangkaian tindakan dengan dirinya sebagai rangkaian, organisasi, sekumpulan relasi yang menetapkan tindakan-tindakan ini”, begitu kata Sartre. Menentang tuduhan para komunis, Sartre menampilkan model manusia eksistensialnya sebagai manusia yang tidak berkubang dalam quetisme, tetapi bergerak maju merealisasikan diri. Manusia seperti ini memiliki komitmen-diri (self-commitment) atas kehidupannya dan karena itu selalu melibatkan dirinya melalui pilihan tindakan-tindakan subyektifnya.

Manusia versi Sartre memang bukan manusia yang cukup-diri. Kehadirannya selalu merupakan proyek yang belum tuntas terselesaikan. Nilai dan makna dari kemanusiaan manusia senantiasa ditentukan oleh setiap pilihan yang dibuat dan komitmen yang dijalani. Sehingga segala hal untuk, katakanlah kesempurnaan bagaimana menjadi manusia, sebetulnya terletak sepenuhnya pada manusia. Tetapi dengan ini Sartre tidak memaksudkan pandangan humanisme tradisional yang menempatkan manusia sebagai tujuan dari dirinya sendiri atau manusia sebagai nilai tertinggi. Sebab kemudian Sartre mengkonsepkan adanya tujuan-tujuan transenden yang pencapaiannya dimungkinkan oleh sifat manusia sebagai makhluk yang mampu melampaui dirinya (self-surpassing). Pelampauan atau transendensi ini tidak terarah pada tujuan tertentu seperti halnya dalam bahasa kristianitas,‘keserupaan dengan Allah’ atau ‘keselamatan kekal’. Manusia hanya perlu berupaya menyempurnakan kesadarannya sebagai manusia bebas dan bahwa keberlangsungannya bergantung sepenuhnya pada totalitas tindakan yang dipilihnya setiap hari. Dengan begitu manusia memang memberi jaminan untuk kehidupannya sendiri.

Kritik dan Aktualitasnya
1. Pembuktian Ketidakadaan Tuhan
Eksistensialisme ateistik Sartre memang telah memberangus keberadaan Tuhan. Secara eksplisit Sartre berujar bahwa gagasan “Jika Tuhan tidak ada, segala sesuatu menjadi mungkin” merupakan poin awal yang penting bagi proyek eksistensialismenya. Ini berarti segala konsep tentang manusia sebagai ‘adalah’, ‘individu yang bebas’, ‘proyek yang tak pernah selesai’, ‘yang menentukan hidupnya sendiri’ merupakan buah dari pemberangusan Tuhan. Manusia sedemikian terisolir, sendirian, terlempar begitu saja ke dalam dunia dan karena itu memikul tanggung jawab besar untuk realisasi kemanusiaannya. Sebuah gambaran yang diandaikan tidak akan tercipta bila Sartre tidak menendang Tuhan jauh-jauh.

Dalam konteks ini penulis menilai bahwa Sartre sebetulnya tidak memberikan argumen yang adequat tentang ketidakadaan Tuhan. Sartre hanya menempatkan ketidakadaan Tuhan sebagai kondisi atau proposisi yang perlu untuk melegitimasi rangkaian konsepnya tentang subjektivisme manusia. Baginya ketiadaan Tuhan harus menjadi alasan yang mutlak perlu untuk menunjukkan kemandirian dan otonomitas absolut manusia atas hidupnya sendiri. Dengan tidak diikat oleh sistem nilai dan norma religius-etis, manusia sangat berpeluang mengaktivasi kebebasan dan tanggung jawab individual, merakit nilai-nilai secara selektif untuk kepentingannya saja tanpa perlu menanggung beban nilai produksi eksternal. Tapi bukankah dengan merampas legitimitas kebenaran tertinggi dari Sang Tuhan, Sartre merancang relativisasi kebenaran? Kebenaran menjadi sedemikian subjektif dan dalam hal ini argumen nilai tanggung jawab manusia pada sesamanya melalui pilihannya menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Jika misalnya kodrat kebernilaian manusia direlativisir, bagaimana mungkin Sartre menjadi sedemikian naif dengan merelakan pembasmian atas hak hidup sesamanya entah dalam perang atau aborsi dengan mengatasnamakan kebenaran subjektif belaka?
Sartre adalah anak zamannya. Ia hidup di tengah berkecamuknya perang dunia II, bergelut dengan perdebatan politik seputar dekolonialisasi Aljazair dan berkecimpung dalam upaya menelusuri jejak-jejak kekejaman Nazi Jerman. Kenyataan penderitaan dan kematian banyak manusia barangkali menjadi alasan bagi penendangan Tuhan dan segala sistem normanya. Sartre tidak mendapatkan kepastian kehadiran Tuhan di tengah situasi eksistensial seperti itu. Jika Tuhan dan agamanya tidak bertindak apapun maka di tangan manusialah perubahan itu semestinya dimulai. Manusialah yang mesti menentukan nasib dan keselamatannya sendiri. Itulah arti terdalam dari menjadi manusia.

Setiap fenomena eksistensial macam kecemasan, penderitaan dan kematian oleh bencana dan perang misalnya, memang menjadi saat-saat menentukan bagi manusia dan disposisi keberimananya pada Tuhan yang disembahnya. Seperti Sartre orang bisa menjadi sedemikian yakin bahwa Tuhan yang terkesan pendiam dan cuek itu tidak benar-benar ada. Tuhan hanyalah ciptaan, produk ketidaksanggupan manusia menentukan hidupnya sendiri. Pada titik ini Sөren Kierkegaard, seorang eksistensialis Kristen tampil mencerahkan kita melalui konsep ‘kebenaran sebagai subjektivitasnya’. Untuk dapat beriman kepada Tuhan, manusia perlu melakukan lompatan iman, bergerak mengatasi segala ketidakmungkinan mendapatkan kepastian objektif tentang Tuhan. Dengan kata lain, beriman tidak mengisyratkan secara mutlak kebenaran objektif tentang keberadaan Tuhan sebab itu berada di luar kompetensi manusia sebagai yang terbatas. Manusia hanya cukup memeluk keyakinan subjektifnya bahwa Tuhan ada dan selanjutnya menghidupi keyakinan itu dengan penuh hasrat dalam kesehariannya.

2. Pemaknaan Kebebasan
Sartre begitu mendewa-dewakan kebebasan.Kebebasan menjadi unsur konstitutif eksistensi manusia, hal yang memungkinkan realisasi-diri dan pemaknaan kehidupannya. Tetapi menjadi terlalu naif ketika Sartre merangkum totalitas manusia sebagai kebebasan. Pandangan ini sedemikian ilusif sebab hampir tak pernah ada kebebasan yang murni. Dalam kajian para strukturalis macam Jacques Lacan misalnya, manusia sejak kecil telah direnggut oleh sistem sosial, dikuasai oleh bahasa orang tua, disituasikan dan ditentukan oleh nama dan beragam peran sosial yang diembannya. Maka dalam konteks ini, pemaknaan kebebasan Sartrian mesti menemukan artikulasinya yang realistis.
Di masa sekarang, keseharian manusia ditandai oleh himpitan interpelatif beragam citra dan makna terberi yang diproduksi oleh sistem-sistem massa. Kehadiran media komunikasi massa macam televisi dan internet berikut segala tampilannya entah gambar, iklan, sinetron ataupun jejaring sosial sungguh merangsang reduktifikasi pemaknaan kemanusiaan. Orang ramai-ramai mengidentifikasikan diri dengan artis-artis idolanya, dengan karakter yang diproduksi sinetron dan film, atau melalui modus konsumsi mereka berupaya mengasimilasi makna yang melekat erat di balik materi atau gaya hidup tertentu. Bukankah kesadaran diri ini menjadi sedemikian manipulatif sebab lahir sebagai produk determinasi struktur sosial belaka?

Sartre tentu akan menggugat pemaknaan manusia yang artifisial seperti ini. Manusia selalu berada dalam proses dan karena itu apa-apa yang digumuli dalam dunia tidak pernah memberikan keselesaian bagi proses pergumulannya. Manusia tidak dapat didefinisikan secara terbatas sebab manusia adalah totalitas tindakan dan pergumulannya di sepanjang hidupnya. Maka konsep kebebasan Sartre menawarkan penciptaan ruang terus-menerus bagi kreasi dan kreativitas memberi makna bagi kemanusiaan manusia dengan membebaskan diri dari belenggu pencitraan sosial. Manusia selalu terbuka pada kemungkinan-kemungkinan, tidak cukup-diri, tetapi selalu terjun ke dalam pergumulan dengan menggenggam komitmen merengkuh kesadaran bahwa dirinya ikut bertanggung jawab(untuk tidak jatuh pada subjektivitas Sartrian yang terkesan tertutup dan antroposentrik) atas eksistensinya sebagai manusia dan sosialitasnya.

Kajian konsep Sartre tentang manusia merupakan tema yang sebetulnya kaya pun dalam hal implikasinya. Pembahasan paper ini mungkin sangat terbatas sebab hanya merupakan upaya meneropong konsep Sartre dalam bukunya, Existensialism is a Humanism. Maka kajian ‘manusia menurut Jean-Paul Satre” senantiasa terbuka bagi eksplorasi lanjut melalui perspektif karya-karya eksistensialismenya yang lain.

Sumber Utama:
Sartre, Jean-Paul, Existensialism is a Humanism, dalam bentuk soft-copy diakses dari http://www.marxists.org/reference/archive/sartre/works/exist/sartre.htm, pada tanggal 15 Mei 2010.

Sumber Penunjang:

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia. 2006.

Kamis, 01 Juni 2017

Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798 – meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun) adalah seorang filsuf Perancis yang dikenal karena memperkenalkan bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Melalui prinsip positivisme, Comte membangun dasar yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode ilmiah dalam ilmu sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran.
Tahap – Tahap Pemikiran Manusia
Menurut Auguste  Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua,tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1. Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri(polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2. Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
B. Positivisme
Positivisme diturunkan dari kata positif, filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Positivisme hanya membatasi diri pada apa yang tampak, segala gejala. Dengan demikian positivisme mengesampingkan metafisika karena metafisika bukan sesuatu yang real, yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dibuktikan. Positivisme suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Positivisme merupakan bentuk lain dari empirisme, yang mana keduanya mengedepankan pengalaman. Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah bahwa positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, tetapi empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman subjektif.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme.