Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798 – meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun) adalah seorang filsuf Perancis yang dikenal karena memperkenalkan bidang ilmu sosiologi serta
aliran positivisme. Melalui
prinsip positivisme, Comte membangun dasar yang digunakan oleh akademisi saat
ini yaitu pengaplikasian metode ilmiah dalam ilmu sosial sebagai
sarana dalam memperoleh kebenaran.
Tahap – Tahap
Pemikiran Manusia
Menurut Auguste Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam
tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua,tahap metafisik, ketiga, tahap
positif.
1. Tahap Teologis
Pada tahap teologis
ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa
adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa
ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia.
Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada
makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf
pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja
atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme).
Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana
seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya
sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa
sendiri-sendiri(polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”,
dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi
politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan
seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang
mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu
dalam monotheisme.
Singkatnya, pada
tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab
pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang
mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2. Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga
disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya
hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini
dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian
atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang
bersifat umum, yang disebut dengan alam. Pada tahap positif, orang tahu bahwa
tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang
mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari
asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang
sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang
orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada
fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan
“memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta
yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi
dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah
satu fakta yang umum.
B. Positivisme
Positivisme
diturunkan dari kata positif, filsafat ini berpangkal dari apa yang telah
diketahui, yang factual, yang positif. Positivisme hanya membatasi diri pada
apa yang tampak, segala gejala. Dengan demikian positivisme mengesampingkan
metafisika karena metafisika bukan sesuatu yang real, yang tidak dapat
dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dibuktikan. Positivisme suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal
adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Positivisme
merupakan bentuk lain dari empirisme, yang mana keduanya mengedepankan
pengalaman. Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah bahwa positivisme
hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, tetapi empirisme
menerima juga pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman
subjektif.
Sesungguhnya aliran
ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh
pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme
Jerman Klasik).
Positivisme
merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan
logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam
satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar